Sabtu, 26 April 2008

Sekilas Mengenai Puisi

Apa itu puisi?
Banyak asumsi-asumsi yang menjelaskan tentang pengertian puisi. Menurut Rachmat Djoko Pradopo puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. A. Teeuw berpendapat bahwa pada puisi selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi). Riffaterre berpendapat bahwa puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi dan perubahan konsep estetiknya.
Rachmat Djoko Pradopo, A. Teeuw, dan Riffaterre mempunyai asumsi yang berbeda tentang puisi, tetapi ketiganya setelah ditelaah lebih lanjut, ternyata asumsi ketiganya saling melengkapi.
Rachmat Djoko Pradopo mengkaji puisi dari struktur pembentuknya, A. Teeuw memandang puisi dari hubungan unsurnya dengan perkembangan zaman, dan Riffaterre lebih melihat puisi dari perkembangannya dari waktu ke waktu. Berdasarkan konsep struktural oleh Rachmat Djoko Pradopo puisi itu harus mempunyai bentuk dan unsur-unsur di dalamnya seperti diksi, koherensi, estetika, rima, gatra, dan lain-lain. Berdasarkan konsep A. Teeuw dan Riffaterre bahwa puisi selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, seperti puisi dalam periode Balai Pustaka yang menonjolkan unsur kedaerahan dalam bahasa puisinya, hingga periode 1950-an yang surrealisme dan absurd. Dari Balai Pustaka yang terkesan kaku dalam mengangkat hal-hal yang tabu dalam karyanya, hingga puisi dewasa ini yang terkesan blak-blakan dalam mengangkat hal yang tabu di dalam karyanya, misalnya permasalahan seksualitas secara jelas dipaparkan dalam puisi indonesia dewasa ini.
Wirjosoedarmo berpendapat bahwa puisi itu adalah karangan yang terikat oleh banyaknya baris, banyak kata dalam tiap baris, banyak suku kata dalam tiap baris, rima dan irama.
Pengertian di atas tentunya sudah tidak cocok lagi dengan wujud puisi dewasa ini karena puisi demikian dirasakan kaku. Asumsi ini sesuai dengan pendapat Altenbernd bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat "penafsiran" dalam bahasa berirama. Penafsiran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern merupakan upaya untuk menterjemahkan sesuatu secara bebas. Dengan demikian relevantlah asumsi bahwa puisi itu harus bebas.
Menurut saya, puisi adalah ungkapan batin yang tertuang dalam tulisan yang bernilai estetik, singkat, padat, dan menggunakan bahasa yang indah. Singkat karena diungkapkan dengan diksi yang tepat dan tidak diuraikan secara panjang lebar seperti prosa. Padat, maksudnya kaya makna atau berisi. Indah, maksudnya puisi digarap dengan diksi yang mengandung kekuatan rasa dan makna.

Pentingkah Puisi Bagi Kehidupan Kita?
Sebelum kita membahas pertanyaan di atas, ada baiknya kalau kita terlebih dahulu memahami hakikat manusia. Menurut Drs Fudyartanta, manusia adalah mahluk biobudaya, artinya mempunyai fisik dengan organ-organ pembentuknya. Jiwanya terdiri atas: fungsi kognisi (cipta, pikiran); emosi (perasaan-perasaan), konasi (kemauan, keinginan), dan karya psikomotorik.
Dari teori di atas disimpulkan bahwa manusia mempunyai wujud/fisik, emosi berupa perasaan-perasaan, kemauan atau keinginan, dan potensi untuk berkarya.
Selanjutnya kita akan menghubungkan pendapat Drs. Fudyartanta dengan pendapat Wordsworth, Auden, Dunton, dan Rachmat Djoko Pradopo. Wordsworth berpendapat bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif. Auden menyatakan bahwa puisi itu merupakan pernyataan perasaan-perasaan yang bercampur-baur. Dunton menyatakan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Rachmat Djoko Pradopo berpendapat bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan berirama.
Dari pendapat keempat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa puisi itu adalah: 1. Pernyataan yang imajinatif; 2. Perasaan yang bercampur-baur; 3. Pemikiran konkret, dan artistik; 4. Bahasa emosional; 5. Berirama; 6. Membangkitkan perasaan.
Keenam potensi puisi di atas sangat cocok dengan potensi manusia. Puisi dapat membangkitkan emosi, perasaan, merangsang imajinasi, sebagai hiburan, serta memberikan informasi yang konkret bagi manusia.
Maka jelaslah bahwa puisi sangat penting bagi kehidupan kita.

Puisi Lirik dan Prosa Lirik
Puisi lirik adalah puisi yang sangat pendek yang mengekspresikan emosi, merupakan puisi yang dinyanyikan. Puisi lirik, dalam definisi yang sudah konvensional adalah ungkapan yang menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu aku. Binhad Nurrohmat, menanggapi bahwa di dalam puisi lirik, perspektiflah yang justru menjadi syarat utama di dalam sebuah puisi lirik.
Prosa lirik adalah prosa yang di dalamnya ada alunan atau irama puisi sehingga perasaan bila membaca sebuah prosa lirik, akan terbuai dan terharu.

Langkah-Langkah Apa yang Dapat Kita Tempuh dalam Pengapresiasian Puisi?
Jakob Sumardjo dan Saini KM, membagi tahapan pengapresian puisi menjadi tiga tahapan, yaitu keterlibatan jiwa atau penghayatan, menghargai, dan pemahaman atau pendalaman. Sedangkan Maman S. Mahayana membagi pengapresiasian puisi menjadi dua langkah, yaitu membaca teks, dan penganalisisan atau identifikasi.
Kedua pendapat di atas dapat kita gabungkan sehingga dapat menjadi acuan kita dalam mengapresiasi puisi. Dalam membaca teks puisi, secara tidak langsung batin kita ikut terlibat di dalamnya. Pada tahap ini kita berada pada proses penghayatan. Kedua, kita mengidentifikasi dan menganalisis unsur-unsur puisi. Kemudian kita hubungkan unsur puisi ini dengan dunia nyata berdasarkan pengalaman kita sebagai pembaca.
Menurut MH. Abrams ada beberapa cara untuk melihat apresiasi sastra. Pertama kita melihat alam semesta, kemudian karya, penciptanya, serta pembaca.
Menurut saya langkah dalam mengapresiasi puisi, pertama kita harus menghargai dahulu bahwa puisi itu merupakan karya sastra yang bernilai estetik terlepas dari siapa yang mengarangnya. Kedua, kita identifikasi unsur-usur puisi dari diksi, penyusunan irama, sugesti, imajinasi, serta koherensi. Ketiga, kita adakan penilaian terhadap puisi berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Bagaimana Kecenderungan Bahasa Puisi Indonesia pada Saat Ini?
Menurut Goenawan Mohammad, perkembangan puisi Indonesia sampai tahun 1950-an adalah satu perkembangan yang pesat dan setelah itu kurang sepesat dari tahun 30-50an. Ini indikasi pemiskinan bahasa. Pemiskinan bahasa ini terjadi karena para penyair Indonesia tidak berbicara dengan bahasa ibunya, dan jarak bahasa ibunya semakin terjadi. Hal ini berbeda dengan periode Amir Hamzah dan Chairil Anwar, karena mereka lahir di kultur Sumatera dan jarak semakin tidak terjadi. Sejalan dengan pendapat Goenawan Mohammad, A. Teeuw berpendapat bahwa penyair di Indonesia itu miskin dalam bahasa.
Menurut saya pendapat ini sangat benar. Telah kita ketahui bahwa kebanyakan penyair Indonesia terkesan malu-malu dalam memakai bahasa ibu dalam karyanya, ia sering memakai bahasa nasional, padahal bahasa nasional (bahasa Indonesia) itu sendiri merupakan campuran dari berbagai bahasa daerah. Berbeda pada kepenyairan di periode Balai Pustaka yang masih melekat unsur kedaerahan di dalam karyanya. Seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang lebih terasa unsur kemelayuan di dalam karya-karyanya.



Referensi:
Fudyartanta, Psikologi Kepribadian, Yogyakarta: Zenit Publisher, 2005
Jakob Sumardjo & Saini K. M., Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993
Maman S. Mahayana, 9 Jawaban tentang Sastra, Jakarta: Bening Publishing, 2005